BANDUNG, suararembang.com - Gerakan donasi atau udunan seribu rupiah per hari yang dicanangkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi ramai menuai sorotan sebagian publik.
Program bertajuk Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) itu disebut-sebut berlandaskan semangat gotong royong, namun di saat bersamaan anggaran belanja pemerintah justru naik berlipat.
Hal ini membuat sebagian pihak bertanya, apakah rakyat yang harus menanggung beban solidaritas di tengah meningkatnya belanja daerah.
Berdasarkan laporan resmi Pemprov Jabar, surat edaran tentang gerakan ini diterbitkan pada 1 Oktober 2025 dan ditujukan kepada seluruh ASN, pelajar, serta masyarakat di Jawa Barat.
Setiap orang diimbau menyisihkan seribu rupiah per hari untuk membantu kebutuhan pendidikan dan kesehatan masyarakat yang sifatnya mendesak.
Baca Juga: Dedi Mulyadi Ogah Cabut Larangan Study Tour: Fokus Pendidikan, Bukan Bebani Orang Tua
Pemerintah menyebut donasi ini bersifat sukarela dan menjadi bentuk kesetiakawanan sosial.
Gerakan ini dikelola secara terbuka oleh pengelola di masing-masing wilayah. Laporan keuangan dijanjikan akan dipublikasikan melalui berbagai portal layanan publik.
Di tengah niat baik tersebut, publik menyoroti alasan di balik program ini munculkan, terlebih di saat APBD Jawa Barat 2025 justru meningkat tajam hingga menyentuh angka 31 triliun rupiah.
Sebelumnya, Gubernur Dedi Mulyadi bahkan sempat memamerkan langkah berani dalam merombak APBD Jabar 2025.
Sekda Jawa Barat, Herman Suryatman menyebut hal itu salah satunya terkait belanja infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan dinaikkan secara signifikan.
“Anggaran infrastruktur pada perubahan anggaran menjadi 4,9 triliun dari APBD murni yang hanya 2,1 triliun,” kata Herman dalam konferensi pers di Gedung Sate, Kota Bandung, pada Selasa, 23 September 2025.
Lantas, apa saja poin-poin kritis ihwal gerakan donasi seribu rupiah per hari yang dicanangkan Dedi Mulyadi? Berikut ini ulasan selengkapnya.