JAKARTA, suararembang.com - Kasus dugaan korupsi tata kelola bahan bakar minyak (BBM) yang menyeret mantan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, kini mulai merembet ke sejumlah perusahaan tambang besar.
Dalam surat dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, tercantum sederet perusahaan industri, termasuk PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Adaro Indonesia, dan PT PAMA PERSADA NUSANTARA, yang disebut menikmati harga solar non-subsidi di bawah ketentuan pasar selama periode 2021–2023.
Baca Juga: CERI Bongkar Skandal Solar Murah: Desak Kejagung Usut 13 Perusahaan, Termasuk Grup Besar Nasional
Namun, sejumlah pengamat menilai penyebutan nama-nama tersebut belum tentu menandakan adanya pelanggaran dari sisi pembeli, melainkan potensi kelalaian tata kelola dari pihak pemasok BBM.
Menurut pengamat hukum Fernandes Raja Saor, salah satu inti dakwaan adalah penetapan harga jual BBM oleh Patra Niaga yang terlalu rendah.
“Singkatnya, jaksa menuduh bahwa Terdakwa menjual BBM non-subsidi kepada perusahaan swasta dengan harga yang lebih murah dari harga jual minimum (bottom price) yang seharusnya, bahkan ada yang lebih rendah dari harga pokok produksi Pertamina Patra Niaga” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa dalam rantai bisnis migas, pembeli tidak memiliki kendali atas perhitungan harga dasar, melainkan tunduk pada penawaran resmi dari pemasok.
“Pembeli kan biasanya menggunakan proses tender untuk mencari harga termurah, dan selama ini membeli BBM dari Patra Niaga karena selalu ditawarkan harga termurah. HPP dan Bottom Price Patra Niaga kan bukan informasi umum juga jadi wajar kalau pembeli tidak mengetahui harganya berapa. " ujarnya.
Potensi Kerugian Negara dan Mekanisme Pemulihan
Berdasarkan dakwaan, kerugian negara akibat penjualan solar non-subsidi di bawah harga pasar mencapai Rp2,54 triliun . Dari jumlah itu, PT Adaro Indonesia disebut menerima selisih manfaat sekitar Rp168,5 miliar, Vale Indonesia sebesar Rp62,1 miliar, dan PAMA sekitar Rp958 miliar.
Menurut pengamat hukum Fernandes Raja Saor, negara dimungkinkan untuk menagih kekurangan bayar atau pertanggungjawaban dari korporasi, namun pengembaliannya sebaiknya dibatasi menggunakan harga pembanding terendah.
“Selama ini pembeli sudah menikmati harga yang lebih murah dari seharusnya. Jika tidak ada pengembalian, hal itu bisa dianggap sebagai keuntungan yang tidak semestinya (unjust enrichment). Namun, agar adil, jumlah yang dikembalikan sebaiknya tidak serta merta didasarkan pada HPP atau harga jual Pertamina, karena bisa jadi pembeli tidak akan membeli jika harganya setinggi itu. Idealnya, pengembalian mempertimbangkan juga selisih antara harga Patra Niaga yang dinilai terlalu rendah dan harga penawaran dari pemasok lain yang ikut dalam tender pembeli jika ternyata pemasok lain memiliki harga lebih murah dari harga jual Pertamina” ujarnya.
PAMA, Vale, dan Adaro Belum Jadi Tersangka
Sejauh ini, Kejaksaan belum menetapkan pihak-pihak korporasi sebagai tersangka. Dakwaan masih terfokus pada dugaan pelanggaran tata kelola internal di Pertamina Patra Niaga, terutama pada proses persetujuan harga dan evaluasi profitabilitas produk solar industri.
Fernandes Raja Saor mengungkapkan, langkah hati-hati perlu diambil agar pemberitaan tidak menimbulkan kesan “penyertaan kolektif”.
“Masyarakat harus paham bahwa nama pembeli itu muncul sebagai penerima manfaat pasif, bukan pelaku aktif. Sebelum adanya bukti yang menunjukkan ada perbuatan pidana yang dilakukan, framing publik harus hati-hati agar tidak menimbulkan panic reaction di bursa atau sentimen negatif yang tidak berdasar,” katanya.
Artikel Terkait
CERI Bongkar Skandal Solar Murah: Desak Kejagung Usut 13 Perusahaan, Termasuk Grup Besar Nasional