suararembang.com - Di balik hiruk-pikuk Pilkada 2024, faktor psikologis seperti disonansi kognitif atau "ketidaksesuaian kognitif" memiliki dampak signifikan terhadap pemilih.
Disonansi kognitif adalah ketegangan yang muncul ketika seseorang dihadapkan pada informasi atau keputusan yang bertentangan dengan keyakinan mereka.
Baca Juga: Inilah Visi dan Misi Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Rembang 2024
Dalam konteks Pilkada, fenomena ini menjelaskan mengapa pemilih mungkin tetap mendukung kandidat meskipun ada informasi fenomena negatif tentangnya.
Memahami disonansi kognitif memberikan perspektif baru tentang bagaimana pemilih memproses informasi dan menentukan pilihan politik.
Baca Juga: Generasi Muda Wajib Selektif! Pahami Visi dan Misi Paslon di Pilkada Rembang 2024
Dikemukakan pertama kali oleh Leon Festinger pada 1957, teori disonansi kognitif menjelaskan bahwa manusia secara alami cenderung menghindari konflik antara keyakinan dan tindakan mereka.
Dalam pemilu, misalnya, jika seseorang mendukung calon tertentu tetapi mendengar berita negatif, mereka mungkin mengalami disonansi.
Baca Juga: Pilkada Rembang 2024: Harno-Hanies Usung 25 Program Unggulan untuk Wujudkan ‘Rembang Sejahtera’
Untuk meredakannya, mereka cenderung mengabaikan, membenarkan, atau mencari informasi yang mendukung pilihannya.
Teori Terkini: “Motivated Reasoning” dalam Disonansi Kognitif
Penelitian terbaru memperdalam pemahaman tentang disonansi kognitif melalui teori "motivated reasoning," yaitu kecenderungan orang untuk menafsirkan informasi secara selektif agar sesuai dengan keyakinan yang ada.
Teori ini menyatakan bahwa pemilih akan lebih cenderung percaya pada informasi yang mendukung pandangan mereka, sedangkan informasi yang bertentangan akan diabaikan atau dianggap tidak valid.
Ini sering terlihat pada pemilih yang tetap mendukung kandidat mereka walaupun ada informasi negatif.
Dampak Disonansi Kognitif dalam Pilkada 2024
Menjaga Loyalitas Pemilih