JAKARTA, suararembang.com - Pada 28 Februari 2025, pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Gedung Putih berubah menjadi konfrontasi sengit yang mengejutkan dunia.
Pertemuan yang awalnya direncanakan untuk membahas kesepakatan sumber daya mineral dan upaya perdamaian antara Ukraina dan Rusia ini berakhir dengan debat panas di depan media.
Ketegangan memuncak ketika Trump menuduh Zelensky tidak menunjukkan rasa terima kasih atas bantuan militer AS dan menyatakan bahwa Ukraina mempertaruhkan terjadinya Perang Dunia III.
Trump menegaskan bahwa tanpa kesepakatan damai, konflik dapat meningkat menjadi perang yang lebih besar dan berpotensi bencana.
Reaksi internasional terhadap insiden ini sangat beragam. Banyak pemimpin dunia, termasuk dari Australia, Kanada, Inggris, Uni Eropa, Prancis, dan Jerman, menyatakan dukungan kuat untuk Ukraina dan Zelensky. Sebaliknya, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orbán memuji sikap Trump.
Di Ukraina, masyarakat bersatu mendukung Zelensky, melihatnya sebagai pembela kepentingan nasional yang teguh.
Meskipun gagal mendapatkan kesepakatan investasi bilateral dan komitmen keamanan dari AS, sikap tegas Zelensky terhadap tekanan AS dipuji secara luas di dalam negeri.
Media dan politisi AS bereaksi keras terhadap konfrontasi tersebut. The Wall Street Journal mengkritik sekutu Trump yang membela insiden itu, sementara The New York Times menyoroti pergeseran Trump dari aliansi tradisional.
Tokoh politik seperti Adam Kinzinger dan Karl Rove mengkritik penanganan pertemuan tersebut, yang dianggap merugikan hubungan diplomatik AS-Ukraina.
Insiden ini menyoroti ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung dan tantangan dalam mengamankan dukungan internasional di tengah konflik berkepanjangan dengan Rusia.
Peringatan Trump tentang potensi Perang Dunia III menambah urgensi untuk menemukan solusi damai yang dapat diterima semua pihak.
Secara keseluruhan, pertemuan ini mencerminkan kompleksitas diplomasi internasional dan pentingnya komunikasi yang efektif antara pemimpin dunia dalam mengelola konflik global.
**