JAKARTA, suararembang.com - Marsinah adalah seorang buruh perempuan yang bekerja di PT. Catur Putra Surya (PT. CPS), pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tahun 1990.
Ia dikenal sebagai aktivis buruh yang gigih memperjuangkan hak-hak pekerja yang sering diabaikan oleh pengusaha dan pemerintah.
Pada tahun 1993, pemerintah menetapkan Upah Minimum Regional (UMR) Jawa Timur sebesar Rp 2.250 melalui KepMen 50/1992. Namun, buruh PT. CPS saat itu hanya menerima gaji Rp 1.700 per bulan.
Baca Juga: Mahfud MD: Revisi UU TNI Tidak Kembalikan Dwifungsi ABRI
Melihat ketidakadilan ini, Marsinah mengajak rekan-rekannya untuk menuntut kenaikan gaji sesuai UMR, serta hak-hak lain seperti cuti hamil, cuti haid, dan upah lembur.
Setelah negosiasi dengan perusahaan tidak membuahkan hasil, mereka memutuskan untuk mogok kerja sebagai bentuk protes.
Tragisnya, perjuangan Marsinah berakhir dengan penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan.
Pada 8 Mei 1993, jasadnya ditemukan di sebuah gubuk di Desa Jagong, Nganjuk.
Baca Juga: Mahasiswa Gelar Demo Tolak RUU TNI Besok, DPR Berikan Tanggapan
Hasil visum menunjukkan bahwa ia mengalami penyiksaan dan pemerkosaan sebelum dibunuh.
Kasus Marsinah menjadi simbol kelamnya praktik Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) pada masa Orde Baru.
Dwifungsi ABRI adalah doktrin yang memberikan peran ganda bagi militer, yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan serta kekuatan sosial politik.
Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Jenderal AH Nasution pada 1958 dan kemudian dilembagakan di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto melalui Ketetapan MPRS No II Tahun 1969.
Implementasi Dwifungsi ABRI membuat militer terlibat dalam berbagai aspek kehidupan sipil, termasuk politik dan ekonomi.