“Semestinya para pejabat publik dan pemimpin institusi politiklah yang menjadi influencer dalam mengkomunikasikan kebijakan publik.” ungkap Nyarwi dalam pernyataannya yang dikutip pada hari yang sama.
“Kalau politisi bergantung pada influencer, ini tidak menunjukkan kemajuan demokrasi,” imbuhnya.
Berkaca dari itu, pesan para pakar komunikasi hingga akademisi ini menunjukkan Presiden Prabowo harus mengambil alih panggung komunikasi publik melalui media massa, bukan menyerahkannya pada pihak ketiga seperti influencer.
Media Massa Dinilai Lebih Kredibel
Dalam kesempatan berbeda, Ketua Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Jawa Tengah, Samsul Arifin pernah menegaskan media massa adalah sarana komunikasi paling efektif.
“Media itu rumah besar rakyat. Kalau Presiden ingin menenangkan masyarakat, jangan terlalu mengandalkan influencer, tapi perbanyaklah komunikasi lewat media massa,” ujar Samsul kepada wartawan, pada Senin, 1 September 2025.
Samsul menambahkan, komunikasi lewat jurnalis lebih aman karena melalui proses verifikasi, berbeda dengan influencer yang hanya berfokus pada konten viral.
Media Bikin Rakyat Tenang
Sebagai Ketua AMKI Jawa Tengah, Samsul juga menilai kehadiran Presiden di media bisa menumbuhkan kepercayaan publik dan mengurangi kesalahpahaman.
“Kalau Presiden sering tampil lewat media, rakyat merasa dilibatkan. Itu penting untuk menjaga legitimasi kepemimpinan nasional,” tegasnya.
Pandangan ini sejalan dengan analis politik, Hendri Satrio atau akrab disapa Hensa yang menyebut media massa dapat membuat masyarakat lebih tenang.
“Media massa lah yang bisa menenangkan rakyat, bukan influencer,” ujar Hensa dalam kesempatan berbeda pada Senin, 1 September 2025
Berkaca dari hal itu, terdapat penelitian yang menunjukkan kepercayaan publik terhadap media massa ketimbang influencer.
Fakta Survei: Media Lebih Dipercaya
Data survei Indonesian Presidential Studies (IPS) UGM tahun 2022 membuktikan hal itu. Sebanyak 74,4 persen publik masih percaya pada media formal, seperti televisi, radio, dan surat kabar.
Sementara media sosial hanya dipercaya oleh 12,7 persen masyarakat. Angka ini memperlihatkan jurang besar antara kredibilitas media dan influencer.
Fakta ini seharusnya jadi bahan pertimbangan serius bagi Presiden Prabowo untuk mengubah pola komunikasi. Terlebih terdapat sejumlah kasus blunder politik dari influencer yang diungkap Indonesia Corruption Watch (ICW).
Pengalaman Buruk dengan Influencer
Indonesia punya banyak catatan soal blunder influencer. ICW mengingatkan, pada masa pandemi pemerintah sempat menggelar konser BPIP yang melibatkan artis. Acara itu justru dikritik karena tidak peka pada situasi krisis.