suararembang.com - Pemerintahan Presiden Donald Trump baru-baru ini mengeluarkan kebijakan yang menghentikan pasokan obat-obatan penting untuk HIV, malaria, dan tuberkulosis ke negara-negara yang didukung oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).
Langkah ini merupakan bagian dari pembekuan bantuan luar negeri selama 90 hari untuk meninjau kesesuaian program dengan kebijakan "America First".
Baca Juga: Trump Cabut Aturan Mobil Listrik
Kebijakan ini berdampak signifikan pada program kesehatan global, termasuk inisiatif seperti President's Emergency Plan for AIDS Relief (PEPFAR), yang menyediakan pengobatan HIV untuk lebih dari 20 juta orang di lebih dari 50 negara.
Dengan penghentian pasokan obat, banyak klinik terpaksa membatalkan janji temu pasien dan menghentikan layanan pengujian serta pencegahan HIV.
Hal ini meningkatkan risiko peningkatan viral load pada pasien dan potensi penularan virus yang lebih tinggi.
Baca Juga: Donald Trump Resmi Tarik AS dari WHO, Sebut Organisasi Penuh Kepentingan Politik
Selain itu, penghentian ini juga memengaruhi distribusi obat untuk malaria dan tuberkulosis, serta pasokan medis untuk bayi baru lahir.
Organisasi mitra USAID, seperti Chemonics, telah menerima instruksi untuk segera menghentikan pekerjaan mereka terkait pasokan obat-obatan ini.
Akibatnya, pasien berisiko mengalami kekambuhan penyakit, dan dalam kasus HIV, potensi penularan ke orang lain meningkat.
Selain itu, ada kekhawatiran munculnya strain penyakit yang resisten terhadap obat.
Keputusan ini menuai kritik dari berbagai pihak.
Atul Gawande, mantan kepala kesehatan global di USAID, menyatakan, "Ini adalah bencana.
Pasokan obat yang disumbangkan menjaga 20 juta orang yang hidup dengan HIV tetap hidup. Itu berhenti hari ini."