berita-terkini

Pramoedya Ananta Toer: Jejak Sastra, Perjuangan, dan Penghargaan Dunia

Rabu, 5 Februari 2025 | 20:52 WIB
Festival Satu Abad Pram

suararembang.com - Pramoedya Ananta Toer, lahir di Blora pada 6 Februari 1925, merupakan salah satu tokoh sastra terkemuka Indonesia yang tak hanya terkenal di tanah air, tetapi juga di dunia internasional.

Ia tumbuh dalam keluarga yang mendukung pendidikan dan nasionalisme, dengan ayahnya, Mastoer Imam Badjoeri, seorang guru yang memimpin Instituut Boedi Oetomo di Blora.

Baca Juga: Seabad Pramoedya Ananta Toer: Festival Sastra dan Budaya di Blora

Meskipun Pramoedya sempat melanjutkan pendidikan di Radio Vakschool Surabaya, dunia pendidikan formalnya harus terhenti seiring dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda dan pendudukan Jepang di Indonesia. 

Pada 1942, Pramoedya merantau ke Jakarta dan mulai bekerja sebagai juru ketik di Kantor Berita DOMEI sambil melanjutkan pendidikan menengah di Taman Madya.

Pada masa ini, Pramoedya sudah mulai terlibat dalam berbagai aktivitas kemerdekaan Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia bergabung dengan Resimen VI Divisi Siliwangi dan bertugas di wilayah Bekasi.

Sikapnya yang mendukung penuh kemerdekaan Indonesia membawanya ke dalam penjara pada 23 Juli 1947. Pramoedya dihukum dan mendekam di Bukit Duri hingga 18 Desember 1949.

Meskipun dipenjara, Pramoedya tetap produktif menulis. Di balik jeruji besi, ia berhasil menyelesaikan dua karya besar pertamanya, Perburuan dan Keluarga Gerilya, yang menceritakan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pada 1950, Pramoedya diangkat menjadi redaktur sastra Indonesia modern di Balai Pustaka. Namun, posisi ini tak bertahan lama, dan ia pun beralih menjadi pengarang penuh waktu, penerjemah, serta kontributor di berbagai surat kabar dan majalah.

Karier internasionalnya dimulai pada 1953 ketika Pramoedya mendapat kesempatan untuk mengikuti Program Residensi di Belanda melalui bantuan Stichting voor Culturele Samenwerken (Sticusa).

Pada 1956, ia juga diundang untuk memperingati wafatnya Lu Hsun di Republik Rakyat Tiongkok. Pada 1957, ia menjadi ketua delegasi Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika yang diadakan di Tashkent.

Ini menunjukkan bahwa nama Pramoedya mulai dikenal luas, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sebagai sastrawan dan intelektual yang memiliki pemikiran progresif.

Namun, kehidupan Pramoedya tidak selalu berjalan mulus. Pada Agustus 1960, ia kembali ditangkap karena bukunya Hoakiau di Indonesia, yang dianggap subversif oleh pemerintah saat itu.

Buku ini memuat pembelaan terhadap warga keturunan Tionghoa yang terpinggirkan oleh kebijakan rasialis Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10/1959. Penangkapan ini mengarahkannya pada hukuman penjara selama satu tahun tanpa peradilan yang jelas.

Halaman:

Tags

Terkini

Jadwal Bioskop Pati Hari Ini, Minggu 21 Desember 2025

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:02 WIB