berita-terkini

Pramoedya Ananta Toer: Jejak Sastra, Perjuangan, dan Penghargaan Dunia

Rabu, 5 Februari 2025 | 20:52 WIB
Festival Satu Abad Pram

Setelah dibebaskan, Pramoedya sempat bekerja sebagai redaktur rubrik kebudayaan di surat kabar Bintang Timur dan mengajar di beberapa universitas serta akademi. Selain itu, ia aktif menulis biografi, cerita bersambung, esai, dan makalah ilmiah, yang banyak dipublikasikan di rubrik kebudayaan Lentera.

Namun, nasib buruk kembali menimpanya. Pada 13 Oktober 1965, setelah peristiwa Gerakan 30 September, Pramoedya kembali ditangkap. Rumahnya diserbu oleh massa, dan delapan manuskrip yang belum selesai, serta koleksi buku pribadinya, dihancurkan dan dibakar.

Dalam beberapa tahun berikutnya, ia dipindahkan ke berbagai penjara seperti Penjara Salemba, Tangerang, dan Nusa Kambangan. Pada 16 Agustus 1969, Pramoedya dipindahkan ke Pulau Buru bersama 800 tahanan politik lainnya.

Di Pulau Buru, Pramoedya menjalani kerja paksa yang sangat berat. Tahanan politik dipaksa membuka hutan, membuka sawah, dan membangun infrastruktur jalan dan jembatan dengan peralatan yang sangat terbatas.

Namun, meskipun berada dalam kondisi yang sangat sulit, Pramoedya tetap menulis. Dalam keterbatasan fasilitas, ia menuliskan ulang cerita-cerita lisan yang ia sampaikan kepada teman-temannya sesama tahanan.

Tak hanya itu, ia juga menulis karya-karya besar seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Arok Dedes, Mata Pusaran, Arus Balik, dan masih banyak lagi.

Semua naskah yang berhasil ia tulis kemudian disembunyikan dengan cara digandakan dan diselundupkan keluar Pulau Buru dengan bantuan biarawan dan biarawati Katolik yang melakukan kunjungan rutin.

Pada 12 November 1979, Pramoedya menerima surat pernyataan yang menyatakan ia tidak terlibat dalam Gerakan 30 September dan akhirnya bisa kembali bertemu keluarganya setelah 14 tahun berpisah.

Setelah dibebaskan, ia kembali melanjutkan kariernya sebagai pengarang dan mendirikan penerbit Hasta Mitra bersama Hasjim Rachman dan Joesoef Isak.

Pada Agustus 1980, Bumi Manusia diterbitkan untuk pertama kalinya. Buku ini disambut meriah oleh pembaca, terjual habis dalam waktu singkat dan dicetak ulang lima kali dalam kurang dari satu tahun.

Namun, pada 29 April 1981, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengeluarkan larangan terhadap buku Bumi Manusia dan sekuelnya Anak Semua Bangsa, karena dianggap mengandung unsur marxisme-leninisme.

Meskipun buku-buku Pramoedya sering kali dilarang dan dimusnahkan, ia tetap dikenal di dunia internasional. Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, yang membawa nama Pramoedya ke panggung kesusastraan dunia.

Bahkan, ia beberapa kali masuk dalam daftar nominasi penerima Penghargaan Nobel untuk Kesusastraan dari Akademi Swedia.

Pada 1995, Pramoedya menerima Hadiah Ramon Magsaysay untuk kategori Jurnalisme, Kesusastraan, dan Komunikasi Kreatif. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk pengakuan terhadap kontribusinya dalam menyebarkan pencerahan kepada masyarakat Indonesia melalui karya-karyanya.

Ia juga menerima kembali hak-hak sipilnya pada 1999 setelah lebih dari tiga dekade berada di bawah penahanan, perampasan kebebasan, dan pemberangusan karya-karyanya.

Halaman:

Tags

Terkini

Jadwal Bioskop Pati Hari Ini, Minggu 21 Desember 2025

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:02 WIB