"Kami teguh di sini. Ini tanah kami, dan kami adalah pemilik tanah yang jujur dan sejati. Saya tidak akan tergusur. Tidak (Trump) atau siapa pun dapat mencabut kami dari Gaza," ujarnya.
China, Yordania, dan Indonesia Menolak Rencana Relokasi
Sejumlah negara menentang keras gagasan relokasi warga Gaza yang diusulkan AS. Berikut respons dari tiga negara yang menolak rencana tersebut:
China: Tolak Pemindahan Paksa Warga Gaza
Dilansir dari Anadolu Agency, Kementerian Luar Negeri China menegaskan penolakannya terhadap pemindahan paksa warga Palestina dari Jalur Gaza.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, mengecam pihak-pihak yang berupaya memanfaatkan gencatan senjata untuk merugikan Palestina.
"Kami menentang pemindahan paksa warga di Gaza," kata Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, 5 Februari 2025.
Yordania: Warga Gaza Harus Tinggal di Palestina
Berdasarkan laporan Middle East Eye, Raja Yordania Abdullah II menegaskan kembali sikapnya yang menolak rencana pemindahan warga Gaza ke negaranya.
"Yang Mulia Raja menekankan perlunya menghentikan aktivitas permukiman (Yahudi) dan menolak segala upaya untuk mencaplok tanah serta memindahkan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat," demikian pernyataan resmi Raja Yordania.
Indonesia: Tolak Tegas Relokasi Warga Gaza
Melalui akun Twitter resmi Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Indonesia menyatakan penolakannya terhadap rencana Trump.
"Indonesia dengan tegas menolak segala upaya untuk secara paksa merelokasi warga Palestina atau mengubah komposisi demografis wilayah pendudukan Palestina," tulis akun @Kemlu_RI pada 5 Februari 2025.
Menurut Kemlu, relokasi permanen warga Gaza hanya akan menghambat terwujudnya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat berdasarkan perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Rencana relokasi warga Gaza yang diusulkan Trump telah menuai gelombang penolakan dari berbagai negara, termasuk China, Yordania, dan Indonesia. Warga Palestina sendiri menolak untuk meninggalkan tanah air mereka dan memilih untuk tetap bertahan meskipun dalam kondisi sulit.
Dengan banyaknya penolakan dari komunitas internasional, masa depan rencana kontroversial ini masih menjadi tanda tanya besar. **