JAKARTA, suararembang.com - Konsumsi rokok kembali menjadi sorotan serius pemerintah.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan bahwa pengeluaran rokok berlebih menjadi salah satu akar penyebab stunting di Indonesia.
Baca Juga: Dari Marketplace hingga Warung Kecil, Purbaya Buru Penjual dan Supplier Rokok Ilegal
Menurut Kemenkes, banyak keluarga yang lebih mengalokasikan anggaran untuk rokok dibanding memenuhi kebutuhan gizi anak.
Hal ini berdampak pada tumbuh kembang balita yang seharusnya mendapat asupan protein cukup.
“Rokok itu mengalahkan dari konsumsi beras di rumah tangga. Ini kenapa pemerintah mengatur kembali penggunaan produk rokok dan rokok elektronik,” ujar Hanifah Rogayah, perwakilan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, dalam diskusi publik di Jakarta, Rabu (24/9/2025).
Hanifah menekankan bahwa program penurunan angka stunting kini menjadi prioritas.
Jika belanja rumah tangga lebih besar untuk rokok daripada pangan bergizi, risiko stunting meningkat.
Rokok dan Stunting
Penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial UI tahun 2018 menunjukkan balita dengan orang tua perokok rata-rata tumbuh 1,5 kg lebih ringan.
Selain itu, 5,5 persen balita dari keluarga perokok berisiko lebih tinggi mengalami stunting.
“Kalau mau berkontribusi menurunkan stunting, orang tua sebaiknya tidak merokok. Uangnya lebih baik untuk protein hewani seperti telur,” kata Dirjen Kesehatan Primer dan Komunitas Kemenkes, Endang Sumiwi, dikutip dari laman resmi Kemenkes (7/6/2023).
Data Susenas 2021 memperkuat temuan ini. Riset menyebut pengeluaran rokok dalam rumah tangga tiga kali lebih besar dibanding kebutuhan protein.
Dilema Rokok: Kesehatan vs Industri
Di sisi lain, kebijakan tarif cukai rokok juga menimbulkan dilema.