lingkungan

Kemarau Basah dan Pranata Mangsa: Saat Langit Tak Lagi Taat Kalender

Jumat, 4 Juli 2025 | 09:00 WIB
Fenomena kemarau basah tunjukkan krisis sistem prediksi musim. Pranata Mangsa justru makin relevan di tengah perubahan iklim. Foto: Facebook Kang Ido

SUARAREMBANG.COM - Pernahkah kamu mendengar istilah kemarau basah? Belakangan ini istilah itu makin sering dipakai.

Namun, jika menengok ke masa lalu, istilah tersebut tak dikenal dalam ilmu cuaca kolonial maupun dalam warisan petani Nusantara.

Baca Juga: Fenomena Kemarau Basah 2025: Hujan Tak Kunjung Reda, Apa Penyebabnya?

Istilah kemarau basah baru muncul sebagai respons terhadap fenomena hujan deras di bulan-bulan yang seharusnya kering.

Ini menunjukkan bahwa sistem prediksi musim berdasarkan kalender Masehi mulai tidak selaras dengan kenyataan di lapangan.

“Kemarau basah” bukan fenomena ilmiah, tapi istilah tambalan.

Baca Juga: Hadapi Kemarau Basah, Petani Tembakau Rembang Dapat Bantuan dan Pelatihan

Sebuah cara menyelamatkan teori lama dengan nama baru, agar tampak tetap benar.

Sejak kecil kita diajarkan bahwa Mei hingga September adalah musim kemarau, sementara Oktober hingga April adalah musim hujan.

Tapi faktanya, Mei masih banjir, Agustus bisa gerimis, bahkan Desember pun kadang kering.

Musim tak lagi patuh pada tanggal. Meski begitu, sistem prediksi kita masih terpaku pada angka.

Pranata Mangsa yang Diabaikan

Pranata Mangsa adalah sistem penanggalan musim tradisional Jawa yang diwariskan para petani.

Ia menyesuaikan musim tanam dengan tanda-tanda alam seperti suara burung, embun pagi, arah angin, hingga perilaku tumbuhan dan hewan.

Namun, sistem ini sering dianggap tidak akurat, mistis, bahkan kuno. Padahal, Pranata Mangsa bersifat lentur dan kontekstual. Ia tidak kaku seperti kalender modern.

Halaman:

Tags

Terkini