Kalau embun belum tebal di Mangsa Kapat, tanam bisa ditunda. Kalau burung prenjak belum bersiul, itu tanda hujan belum turun.
Ilmu ini bukan dari teori, tapi dari ratusan tahun pengamatan alam.
Waktu Itu Siklus, Bukan Garis
Kesalahan besar kita saat ini adalah memandang waktu sebagai garis lurus yang terus maju. Leluhur kita melihat waktu sebagai siklus yang berulang.
Dalam budaya Jawa, waktu dibagi dalam hari, pasaran, wuku, tahun, windu, hingga kurup. Semua berbentuk siklus.
Dalam sistem Windu — yaitu delapan tahun Jawa — dikenal pula istilah Windu Paceklik dan Windu Subur. Ada masa paceklik panjang, musim kacau, dan gagal panen. Tapi ada juga masa makmur, musim stabil, dan panen melimpah.
Di sinilah pentingnya Pranata Mangsa. Ia relevan jika tidak hanya dibaca tahunan, tapi juga dipahami bersama siklus panjang seperti Windu dan Kurup. Ia membuka jendela pada ritme semesta, bukan hanya angka di kalender.
Dampaknya ke Petani
Musim yang makin tak menentu membuat petani bingung menentukan waktu tanam. Rencana berubah jadi spekulasi.
Jika panen gagal, utang dan modal jadi bencana. Harga pasar naik turun karena panen tidak seragam.
Sayangnya, warisan ilmu seperti Pranata Mangsa dianggap tak bisa dipakai lagi.
Padahal, bukan ilmunya yang salah. Yang berubah adalah ekosistemnya — hutan rusak, sungai menyempit, angin tak mengalir seperti dulu.
Sudah Waktunya Kembali Membaca Tanda-Tanda Langit
Jika musim tak bisa lagi dipatok kalender, jangan buru-buru menyalahkan petani yang masih percaya embun dan suara jangkrik.
Kalau sistem modern bisa menciptakan istilah seperti kemarau basah untuk menyelamatkan teori, maka Pranata Mangsa juga layak dipertahankan — karena ia lahir dari tanah, bukan dari meja kantor.
Waktu tidak berjalan dalam garis lurus, tapi berputar dalam spiral.
Dan hanya mereka yang membaca pola itu yang bisa bertahan menghadapi musim yang makin tak menentu.***