Senin, 22 Desember 2025

Huru-hara Demonstrasi di Nepal Dinilai Menjadi Cerminan Luka Lama Monarki yang hingga Kini Masih Belum Sembuh

Photo Author
- Sabtu, 13 September 2025 | 19:33 WIB
Melihat jejak sejarah sistem pemerintahan Nepal usai aksi demonstrasi besar berujung kerusuhan di Kathmandu. (Unsplash.com/Binaya)
Melihat jejak sejarah sistem pemerintahan Nepal usai aksi demonstrasi besar berujung kerusuhan di Kathmandu. (Unsplash.com/Binaya)

KATHMANDU, suararembang.com - Aksi demonstrasi besar di Kathmandu, Nepal, pada 8 September 2025 berujung kerusuhan.

Peristiwa bermula saat Generasi muda atau Gen Z turun ke jalan dengan tuntutan perubahan bentrok dengan aparat, menyebabkan 19 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.

Baca Juga: Tom Lembong Soroti Aksi Demonstrasi Agustus 2025, Sebut Indonesia Masuki Down Cycle Seperti Nepal dan Filipina

Sehari setelah peristiwa itu, krisis politik meledak di pucuk kekuasaan. Perdana Menteri (PM) Nepal, KP Sharma Oli mengundurkan diri, disusul Presiden Nepal, Ram Chandra Poudel.

Kejatuhan dua pemimpin sekaligus menandai puncak gejolak terbaru di negeri Himalaya tersebut.

Berkaca dari hal itu, kini para pengamat menilai peristiwa ini bukanlah insiden tunggal.

Baca Juga: Pastikan WNI di Nepal Aman, Kemlu Buka Opsi Pemulangan ke Indonesia

Huru-hara tersebut menjadi cermin dari luka lama Nepal yang belum sembuh sejak keruntuhan monarki hampir dua dekade lalu. Begini ceritanya:

Skandal Putra Mahkota di Tahun 2001

Britannica mencatat, salah satu titik balik besar terjadi pada Juni 2001, ketika Putra Mahkota Dipendra membunuh Raja Birendra dan delapan anggota keluarga kerajaan.

“Peristiwa itu mengguncang Nepal, tidak hanya karena hilangnya raja, tetapi juga karena cara tragis yang meruntuhkan kepercayaan rakyat pada monarki,” tulis Britannica dalam laporannya yang dikutip pada Sabtu, 13 September 2025.

Kekuasaan kemudian beralih kepada Gyanendra. Namun, di tengah pemberontakan Maois yang sudah meletus sejak 1996, langkahnya dianggap justru memperburuk situasi.

Pada 2005, Gyanendra mengambil alih kekuasaan langsung dengan memberhentikan perdana menteri dan kabinet.

“Keputusan itu memicu protes besar yang berlangsung berhari-hari dan semakin memperlemah posisi monarki,” tulis Britannica menggambarkan situasi pemerintahan Nepal kala itu.

Gelombang demonstrasi yang berlangsung pada 2006 memaksa Gyanendra mengembalikan parlemen. Setahun kemudian, dengan mediasi PBB, pemerintah dan kelompok Maois menandatangani perjanjian damai.

Halaman:

Editor: R. Heryanto

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Jadwal Bioskop Pati Hari Ini, Minggu 21 Desember 2025

Minggu, 21 Desember 2025 | 10:02 WIB
X