suararembang.com - Kasus dugaan pemerasan terhadap penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 asal Malaysia telah mencuat ke publik, menimbulkan keprihatinan dan sorotan luas.
Seorang warga negara Malaysia melaporkan bahwa dirinya diminta membayar Rp100 juta oleh oknum polisi setelah menghadiri acara musik tersebut.
Menurut laporan, korban bersama teman-temannya dihampiri oleh sekelompok orang berpakaian sipil saat hendak pulang dari DWP. Mereka kemudian dibawa ke kantor polisi dan diminta menjalani tes urine.
Meskipun hasil tes sebagian dari mereka negatif, korban mengaku tetap diminta membayar sejumlah uang untuk dibebaskan.
Total uang yang diminta mencapai Rp800 juta, namun setelah negosiasi, mereka membayar sekitar RM100.000 (sekitar Rp360 juta) yang ditransfer ke rekening pribadi seseorang berinisial MAB.
Respon Pihak Berwenang
Menanggapi laporan ini, Mabes Polri menyatakan telah membuka investigasi atas dugaan pemerasan yang dilakukan oleh personelnya.
Sebanyak 18 personel kepolisian tengah diperiksa terkait kasus ini, dan mereka akan menjalani sidang etik dalam waktu dekat.
Selain itu, Polda Metro Jaya memutasi 34 anggotanya dari Direktorat Reserse Narkoba sebagai bagian dari pemeriksaan kasus ini.
Dampak Terhadap Citra Indonesia
Kasus ini tidak hanya mencoreng citra kepolisian, tetapi juga berdampak negatif terhadap reputasi Indonesia di mata internasional.
Sejumlah media Malaysia menyoroti insiden ini, yang dapat mempengaruhi minat wisatawan asing untuk berkunjung ke Indonesia.
Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, menyatakan bahwa peristiwa ini memberi citra negatif bagi Indonesia di tengah upaya mempromosikan diri sebagai destinasi kelas dunia.
Penyelenggara DWP menyatakan penyesalan atas kejadian tersebut dan berkomitmen untuk meningkatkan koordinasi dengan pihak keamanan guna memastikan kenyamanan dan keselamatan pengunjung di masa mendatang.
Mereka juga mengimbau para pengunjung yang merasa dirugikan untuk melapor agar dapat ditindaklanjuti sesuai prosedur.
Analisis dan Tanggapan Publik
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mendesak agar polisi mengusut kasus ini secara transparan, tidak hanya dalam ranah etik tetapi juga pidana.