Ketua PWI Kabupaten Cirebon, Mamat Rahmat, menilai tindakan pengusiran ini merupakan bentuk tekanan halus terhadap kebebasan pers. Ia mempertanyakan apakah ini benar-benar murni soal aset atau dipicu dinamika politik, seperti efek Pilkada.
"Kita paham soal aset, tapi jika ini dilakukan secara sepihak dan akibat perbedaan politik, maka patut diduga ada motif lain," ujarnya.
Mamat menambahkan, ruang bagi pers di negara demokratis seharusnya diperluas, bukan dibatasi.
Koordinator Wilayah PWI Ciayumajakuning, Jejep Falahul Alam, mendesak agar surat pengusiran segera dicabut.
Ia meminta Pemkab membuka ruang dialog dan menyediakan solusi yang adil, seperti gedung alternatif yang layak jika gedung lama akan digunakan untuk kepentingan lain.
“Jangan jadikan wartawan korban kebijakan yang tidak berpihak pada kemerdekaan pers,” tegas Jejep.
Ia juga mengingatkan bahwa jurnalis adalah bagian dari rakyat, yang juga memiliki hak atas fasilitas publik. Terlebih, pejabat publik digaji oleh uang rakyat dan memiliki tanggung jawab terhadap kepentingan umum, termasuk jurnalis.
"Wartawan Indramayu juga sama, rakyat. Mereka bayar pajak. Jadi tidak salah menempati gedung itu untuk kepentingan pers," pungkasnya.
Pengusiran ini menjadi ujian serius bagi komitmen Pemkab Indramayu terhadap kebebasan pers dan iklim demokrasi lokal.
Kini publik menanti, apakah langkah selanjutnya akan mengarah pada penyelesaian bijak atau justru memperlebar jurang antara pemerintah dan media.**