DENPASAR, suararembang.com - Kasus dugaan bullying yang menimpa Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana (UNUD), mengguncang dunia pendidikan.
Tragedi ini menyoroti kembali persoalan serius soal kekerasan sosial di lingkungan akademik.
Timothy dinyatakan meninggal dunia pada Rabu, 15 Oktober 2025, setelah diduga melompat dari lantai dua gedung FISIP UNUD. Kejadian ini memicu duka mendalam sekaligus kemarahan publik terhadap praktik perundungan di kampus.
Namun di tengah amarah itu, sikap ayah Timothy justru menggetarkan hati banyak orang.
“Saya sakit hati sekali, tapi saya punya Tuhan yang mengajarkan saya memaafkan orang yang salah. Biarkanlah pihak kampus yang melakukan tindakan,” ujarnya dalam video yang viral di media sosial.
Ucapan tersebut dinilai sebagai wujud kebesaran hati yang langka. Banyak warganet menilai, di tengah kehilangan, sang ayah tetap memilih untuk memaafkan, bukan membalas.
Sanksi untuk Pelaku Bullying di UNUD
Pihak kampus akhirnya menjatuhkan sanksi kepada empat mahasiswa pengurus Himapol FISIP UNUD. Mereka diberhentikan dari jabatan organisasi, dikurangi nilai soft skill, dan diwajibkan membuat surat serta video permintaan maaf.
“Sanksi ini bukanlah ekspresi kebencian kami sebagai pimpinan. Kami ini guru, tugas kami mendidik,” ujar Wakil Dekan III FISIP UNUD, I Made Anom Wiranata, Sabtu, 18 Oktober 2025.
Namun sumber internal menyebut, ada total sembilan mahasiswa yang diduga terlibat, termasuk dari fakultas lain. Fakta ini menunjukkan bahwa akar persoalan bullying di kampus tidak sesederhana perilaku individu.
Luka Psikologis yang Tak Terlihat
Kasus ini mengingatkan pada pandangan Emma Jones dalam buku Should Bullying Be a Crime? (2020), yang menyebut perundungan sebagai kekerasan psikososial yang mengikis martabat dan bisa merenggut nyawa.
“Bullying bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan kekerasan yang menghancurkan kepercayaan diri,” tulis Emma.