JAKARTA, suararembang.com - Laporan terbaru Bank Dunia kembali memantik perhatian publik.
Dalam Macro Poverty Outlook edisi April 2025, disebutkan bahwa 60,3 persen warga Indonesia tergolong miskin jika mengacu pada standar global.
Laporan tersebut menyatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup dengan pengeluaran di bawah US$6,85 per hari per kapita, berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) 2017.
Jika dikonversi, ini berarti sekitar 171,9 juta dari total 285,1 juta jiwa termasuk dalam kategori miskin menurut definisi Bank Dunia untuk negara berpendapatan menengah ke atas.
Namun, benarkah kondisi di lapangan seburuk itu?
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan perspektif berbeda. Menurut BPS, tingkat kemiskinan nasional pada 2024 hanya sebesar 8,57 persen.
Perbedaan mencolok ini disebabkan oleh perbedaan metode penghitungan.
Bank Dunia menggunakan pendekatan global dengan standar PPP untuk perbandingan antarnegara.
Sementara BPS mengukur kemiskinan berdasarkan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia—baik makanan maupun non-makanan—sesuai garis kemiskinan nasional.
Meski begitu, kedua lembaga sepakat bahwa tantangan pengentasan kemiskinan masih besar. Pemerintah Indonesia tengah menargetkan status negara berpendapatan tinggi pada 2045.
Untuk mencapainya, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, pemerataan pembangunan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Data ini seharusnya jadi alarm bersama. Kemiskinan bukan sekadar angka, tetapi wajah nyata dari kehidupan jutaan orang.
Memahami konteksnya akan membantu kita mendukung kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berkeadilan. ***
Artikel Terkait
Makan Bergizi Gratis Bisa Turunkan Kemiskinan 5,8%, Ini Alasannya!