SUARAREMBANG.COM - Saat Ali Sadikin dilantik menjadi Gubernur Jakarta pada 1966, ia langsung menghadapi kenyataan pahit.
Uang di kas daerah sangat terbatas, sementara kebutuhan pembangunan sangat besar. Kota ini tengah tumbuh pesat, tapi fasilitas publik seperti jalan, sekolah, dan rumah sakit jauh dari memadai.
Baca Juga: Setwapres Klarifikasi Soal Gibran Follow Akun Judol, Ini Kronologi Lengkapnya
Sebagai mantan marinir yang dikenal tegas dan blak-blakan, Ali memilih jalan yang tidak lazim. Ia melegalkan perjudian—bukan karena mendukung gaya hidup mewah, tetapi karena butuh sumber dana baru.
“Kalau tidak ada uang dari judi, jangan harap ada jalan, rumah sakit, atau sekolah untuk rakyat,” katanya tegas.
Kasino Resmi: Petak Sembilan hingga Sarinah
Kebijakan itu dijalankan dengan aturan ketat. Pada 1967, ia menerbitkan surat keputusan yang mengizinkan perjudian dilakukan secara resmi di lokasi khusus.
Lokasi pertama adalah Petak Sembilan di kawasan Glodok. Dalam waktu singkat, tempat itu menghasilkan pendapatan fantastis bagi kas daerah.
Kasino juga dibuka di tempat lain seperti lantai 13 Gedung Sarinah dan kawasan Ancol. Selain itu, lahir pula pusat hiburan modern seperti Tanamur yang ikonik pada zamannya. Semua kegiatan ini diawasi ketat.
Tim pengawas dibentuk untuk memastikan perjudian tidak menyebar liar dan tidak mendekati tempat ibadah, sekolah, atau kampung penduduk.
Dana Judi Jadi Jalan dan Sekolah
Pendapatan dari kasino dan judi resmi digunakan untuk membangun Jakarta.
Ali Sadikin membiayai proyek besar seperti Monas, Taman Ismail Marzuki, Ancol, serta ratusan sekolah dan puskesmas. Bahkan program perbaikan kampung (MHT) juga dibiayai dari dana tersebut.
Ali sadar kebijakan ini kontroversial. Ia sempat disebut “Gubernur Maksiat” oleh sebagian kalangan. Namun ia tidak gentar.
“Masyarakat boleh menolak judi, tapi mereka juga harus tahu bahwa rumah sakit tempat mereka berobat itu dibangun dari pajak judi,” ujarnya.
Artikel Terkait
Setwapres Klarifikasi Soal Gibran Follow Akun Judol, Ini Kronologi Lengkapnya