“Progres kilang Balikpapan sudah mencapai 96,5 persen dan mulai tahap _commissioning_. Proyek ini jadi bukti nyata pemerintah tetap jalan,” ujar Bahlil dikutip Bloomberg Technoz.
Sementara itu, Pertamina Patra Niaga menyatakan bahwa proyek kilang memerlukan waktu dan pendanaan besar. Perusahaan, kata mereka, harus berhati-hati agar tidak membebani keuangan negara.
Namun, kritik publik tetap bergema. Jurnalis senior energi Muhammad Al Azhari menilai, lambannya realisasi kilang menunjukkan lemahnya visi industri hilir migas Indonesia.
“Sudah 20 tahun kita bicara kemandirian energi, tapi tanpa kilang baru, semua itu hanya slogan,” kata Azhari saat dihubungi _Jaringan Promedia_, Selasa 7 Oktober 2025.
Risiko Energi Jangka Panjang
Tanpa tambahan kilang baru, Indonesia menghadapi dua risiko besar: defisit pasokan dan ketergantungan impor.
Ketika harga minyak dunia naik, beban subsidi akan menekan APBN dan menimbulkan efek domino ke inflasi domestik.
Analis energi Fabby Tumiwa yang juga Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2024 memperkirakan, jika proyek kilang baru kembali tertunda, defisit pasokan BBM bisa mencapai 300 ribu barel per hari pada 2030.
“Selama proyek kilang belum tuntas, impor BBM akan terus tinggi,” kata Fabby kepada Kata Data.
Kritik terhadap Pertamina pun tak lagi hanya soal efisiensi korporasi, tapi soal arah kebijakan energi nasional. Ketika negara terus menjadi “pembeli tetap” bagi BBM impor, pertanyaannya bukan lagi kapan kilang baru dibangun, tapi mengapa Pertamina tak kunjung belajar dari masa lalu.
***
Artikel Terkait
BBM SPBU Swasta Masih Kosong, Pertamina Ungkap Masih Terbuka dengan Pembicaraan Baru