JAKARTA, suararembang.com - Industri asuransi Asia sedang berada dalam tekanan berat pada 2024.
Cuaca ekstrem yang makin intens membuat klaim asuransi tidak mampu menutupi kerugian ekonomi besar.
Baca Juga: BSI Bagikan Dividen Rp1,05 Triliun, Laba 2024 Tumbuh 22,83 Persen
Menurut laporan terbaru dari WTW, total kerugian akibat bencana cuaca sepanjang 2024 mencapai lebih dari US$20 miliar atau sekitar Rp328 triliun.
Ironisnya, hanya sekitar US$2–3 miliar dari jumlah itu yang bisa ditanggung oleh asuransi.
Insurance Asia mencatat, musim topan di Pasifik Utara menghasilkan 23 badai tropis. Sebanyak 15 meningkat jadi topan dan 9 masuk kategori berintensitas tinggi.
Meskipun jumlah ini sedikit di bawah rata-rata tahunan, kerusakan yang ditimbulkan justru lebih parah.
Topan Yagi menjadi salah satu yang paling merusak. Badai ini meluluhlantakkan Asia Tenggara, menyebabkan 1.200 kematian dan kerugian ekonomi hingga US$15 miliar.
Sayangnya, hanya sekitar US$1 miliar dari kerugian itu yang ditanggung polis asuransi.
Wilayah seperti China Selatan dan Vietnam sangat terdampak karena rendahnya kepemilikan asuransi.
Topan Yagi bergerak dengan kecepatan 160 mph dan menjadi salah satu badai terkuat yang pernah menerjang wilayah tersebut.
Topan Shanshan juga menghantam Jepang dengan kekuatan besar. Namun klaim asuransi tetap minim karena perlindungan di wilayah terdampak sangat terbatas.
Di Filipina, enam badai dalam sebulan memengaruhi lebih dari 13 juta orang dan menyebabkan kerugian US$500 juta.
Fenomena ini menunjukkan betapa besar jurang perlindungan asuransi di Asia. Edukasi publik dan perluasan jangkauan asuransi menjadi sangat penting dalam menghadapi krisis iklim.
Artikel Terkait
5 Fakta Kasus Penembakan Bos Asuransi Kesehatan di AS: Bukti pada Selongsong Peluru hingga Pembunuhan Berencana