Minggu, 21 Desember 2025

40 Ribu Pekerja Tekstil Terancam PHK Bila Usulan BMAD Sebesar 45 Persen terhadap Bahan Baku China Diterapkan

Photo Author
- Minggu, 24 Agustus 2025 | 19:30 WIB
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief. (Dok. Kemenperin)
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief. (Dok. Kemenperin)

JAKARTA, suararembang.com - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memberi peringatan keras soal potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di sektor tekstil.

Diperkirakan hingga 40 ribu pekerja terancam kehilangan pekerjaan jika usulan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 45 persen terhadap bahan baku asal China benar-benar diterapkan.

Baca Juga: Pembatasan Gas HGBT Mulai Meresahkan, Kemenperin Pantau Langsung Pabrik Keramik yang Rumahkan Ratusan Karyawannya

Sebelumnya, usulan kebijakan tersebut pertama kali muncul dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Mereka mengajukan pengenaan BMAD tinggi untuk benang filamen tertentu yang digunakan sebagai bahan baku industri tekstil.

Terkini, Juru Bicara (Jubir) Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief menegaskan kebijakan itu bisa memukul keras industri hilir tekstil. Padahal, sektor ini saat ini menyerap puluhan ribu tenaga kerja di dalam negeri.

“Ini akan menjadi tragedi nasional. Sedangkan potensi PHK di sektor hulu yang jauh lebih kecil masih bisa dimitigasi melalui optimalisasi serapan lokal,” kata Febri dikutip dari keterangan resmi Kemenperin, pada Minggu, 24 Agustus 2025.

Baca Juga: Sorotan Khusus: 41 Persen Perusahaan PHK Massal hingga 2030 Imbas AI yang Kian Marak Dipakai Dunia Kerja Global

Menurut Febri, kebijakan impor maupun perlindungan tarif seharusnya berdasar pada prinsip keadilan bagi industri hulu, intermediate, maupun hilir. Ia menekankan keseimbangan menjadi kunci agar semua sektor tetap bisa bertahan.

Jubir Kemenperin menambahkan, industri hilir yang berorientasi ekspor sudah mendapat berbagai fasilitas agar kompetitif di pasar global. Sementara untuk pasar domestik, pemerintah mendorong agar lebih banyak menggunakan produk substitusi impor.

Kendati demikian, Kemenperin menyoroti persoalan internal di tubuh Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI).

Baca Juga: Efisiensi Besar Microsoft, 9.000 Karyawan Terkena PHK demi Dorong Investasi AI

Dari 20 anggota asosiasi, hanya 15 perusahaan yang melaporkan aktivitas industrinya melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), sedangkan lima lainnya tidak melapor.

Perihal itu, Febri menyebut adanya kontradiksi pada sebagian anggota APSyFI. Beberapa perusahaan justru tercatat meningkatkan impor hingga 239 persen dalam setahun, dari 14,07 juta kilogram pada 2024 menjadi 47,88 juta kilogram pada 2025.

“Di satu sisi mereka menuntut proteksi, di sisi lain aktif menjadi importir. Ini melemahkan posisi asosiasi yang mengklaim sebagai garda depan tekstil nasional,” terangnya.

Halaman:

Editor: R. Heryanto

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X