JAKARTA, suararembang.com - Perbedaan data kemiskinan yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Bank Dunia atau World Bank menuai sorotan sebagian publik di Tanah Air.
Polemik ini salah satunya disoroti pengamat ekonomi, Ferry Latuhihin yang menilai adanya perbedaan mendasar dalam metode penghitungan kedua lembaga.
Ferry membahas isu ini dalam sebuah siniar YouTube Tonny Hermawan Adikarjo yang dipublikasikan pada Jumat, 12 September 2025.
Pengamat ekonomi itu menilai, publik wajar merasa bingung karena angka yang dipaparkan BPS dengan Bank Dunia sangat jauh berbeda.
Tonny membuka percakapan dengan menyebut dua data resmi yang baru-baru ini dirilis BPS dan Bank Dunia pada tahun 2025.
"Pada 25 Juli 2025, BPS menyatakan angka kemiskinan di Indonesia hanya 8,47 persen, turun 0,1 persen dibanding September 2024. Tetapi Bank Dunia mengatakan kemiskinan di Indonesia mencapai 68,2 persen. Nah, sebenarnya yang benar yang mana?" tanya Tonny ke Ferry.
Menanggapi itu, Ferry menjelaskan kunci perbedaan terletak pada metode pengukuran angka kemiskinan di RI tersebut.
"Pada dasarnya tergantung metode pengamatan. Kalau BPS menggunakan ukuran konsumsi di bawah Rp20.000 per hari, maka itu dikategorikan miskin. Dengan kriteria itu, hasilnya angka kemiskinan nasional 8,47 persen," ujarnya.
Ferry menambahkan, jika seseorang hanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari di bawah Rp20.000, maka dianggap berada dalam garis kemiskinan. Perhitungan itu juga dihitung per kepala per bulan sekitar Rp600 ribu.
Meski begitu, Ferry mengingatkan standar Bank Dunia menggunakan purchasing power parity atau Paritas Daya Beli, sebuah teori ekonomi makro yang menyatakan nilai tukar mata uang suatu negara akan menyesuaikan sedemikian rupa sehingga daya beli mata uang tersebut sama di berbagai negara.
"World Bank menggunakan konsep purchasing power parity. Jadi, ukuran kemiskinan dibuat seragam agar bisa dibandingkan dengan negara lain," jelasnya.
Dengan standar internasional itu, angka kemiskinan di Indonesia terlihat jauh lebih tinggi. Ferry menilai hal ini penting agar masyarakat tidak salah kaprah ketika membandingkan data nasional dengan global.
"Kalau kita tetap ngotot pakai data BPS, maka seolah-olah kita selalu jadi pemenang. Padahal kriteria BPS berbeda dengan Bank Dunia," terangnya.
Artikel Terkait
Kopdes Merah Putih: Strategi Baru Presiden Prabowo Lawan Kemiskinan dari Desa