pemerintahan

Fenomena Pawang Hujan di LPSE: Tradisi Lokal atau Pemborosan Anggaran?

Rabu, 8 Januari 2025 | 10:00 WIB
Rain shaman tradition, known as "pawang hujan"

suararembang.com - Penggunaan jasa pawang hujan bukan lagi sekadar bagian dari tradisi lokal di Indonesia, tetapi kini telah masuk ke dalam pengadaan resmi pemerintah melalui platform Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). 

Praktik ini memicu beragam reaksi dari masyarakat, mulai dari dukungan hingga kritik tajam soal penggunaan dana publik.

Pawang hujan dikenal luas di Indonesia sebagai "penjaga cuaca" yang bertugas mengendalikan hujan, terutama untuk mendukung kelancaran acara besar.

Baca Juga: LPSE: Solusi Digital untuk Transparansi dan Efisiensi Pengadaan Pemerintah 

Tidak hanya di acara pribadi seperti pernikahan, kini pemerintah daerah juga mengandalkan jasa ini dalam berbagai kegiatan resmi.

Contohnya, LPSE Kabupaten Sleman mencantumkan jasa pawang hujan untuk acara Pameran PPD dan APBD di laman resmi mereka.

Hal serupa terjadi di Kabupaten Blitar, di mana pawang hujan juga dianggarkan untuk menyukseskan perayaan Hari Jadi Blitar.

Laman LPSE Sleman menampilkan informasi paket pekerjaan pawang hujan pameran PPD. Foto: LPSE Sleman

Pengadaan jasa pawang hujan melalui LPSE menimbulkan perdebatan. Pendukung praktik ini menilai bahwa pawang hujan adalah bagian dari tradisi yang perlu dijaga, apalagi saat keberhasilannya dipercaya masyarakat setempat.

Selain itu, jasa ini dinilai lebih murah dan praktis dibanding teknologi modern. Namun, kritikus mempertanyakan efektivitas penggunaan dana publik untuk layanan yang tidak memiliki dasar ilmiah.

Banyak pihak yang mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam menjelaskan alasan di balik pengadaan ini.

Alternatif Modern: Teknologi Modifikasi Cuaca

Bagi yang menginginkan pendekatan lebih ilmiah, teknologi modifikasi cuaca menjadi solusi alternatif. Contohnya adalah operasi modifikasi cuaca yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Baru-baru ini, BMKG berhasil menghalau hujan di Ibu Kota Negara (IKN) hingga 97% menggunakan teknologi ini. Meskipun terbukti efektif, biayanya jauh lebih besar dibandingkan jasa pawang hujan.

Fenomena ini menjadi sorotan karena menyentuh dua aspek utama: budaya dan penggunaan anggaran publik. Dalam konteks budaya, pawang hujan dianggap sebagai wujud kearifan lokal yang masih relevan.

Halaman:

Tags

Terkini