Angkie Yudistia: Ruang Digital Jauh dari Aman
Sociopreneur dan aktivis pemberdayaan perempuan, Angkie Yudistia, menegaskan bahwa ruang digital yang idealnya menjadi tempat berekspresi justru berubah menjadi tempat berisiko tinggi bagi perempuan dan anak perempuan.
Ia menyoroti maraknya komentar bernada misoginis yang menyerang perempuan hanya karena mengunggah foto atau konten pribadi.
Pelecehan verbal, intimidasi, hingga penghinaan dianggap lumrah oleh sebagian pengguna. Kondisi ini mengindikasikan bahwa budaya digital Indonesia masih jauh dari aman dan inklusif.
Selain komentar jahat, bentuk-bentuk kekerasan digital yang merusak juga semakin berkembang, seperti:
- penghinaan dan ancaman,
- manipulasi psikologis,
- penyebaran data pribadi tanpa izin,
- dan pemerasan melalui konten pribadi.
Bentuk Kekerasan Digital yang Paling Merusak
Para pembicara memetakan bentuk-bentuk kekerasan digital yang paling sering terjadi:
1. Online Grooming, pelaku membangun kepercayaan korban remaja atau anak perempuan untuk tujuan seksual.
2. Sextortion, pemerasan menggunakan ancaman menyebarkan foto atau video pribadi.
3. Komentar Misoginis, menghina dan merendahkan perempuan di ruang publik digital.
4. Penyebaran Konten Intim Tanpa Persetujuan (NCII), sering dilakukan sebagai bentuk balas dendam atau pengendalian.
5. Catfishing, pelaku menggunakan identitas palsu untuk menipu atau menjebak korban.
6. Pelacakan dan Pengintaian Digitalo, kontrol terhadap aktivitas sehari-hari korban melalui perangkat digital.
Semua pola ini memperlihatkan bahwa ruang digital telah menjadi arena kekerasan baru yang sangat merusak dan membutuhkan intervensi segera.
Ruang Digital Indonesia Sedang Dalam Kondisi Darurat
Para ahli sepakat bahwa kondisi ruang digital saat ini sangat memprihatinkan. Tanpa langkah serius, perempuan dan anak perempuan akan terus berada dalam risiko setiap kali terhubung ke internet.
Beberapa langkah mendesak yang direkomendasikan meliputi:
- Peningkatan literasi digital bagi perempuan, remaja, dan orang tua.
- Masih banyak keluarga yang belum memahami risiko interaksi digital.
- Penegakan hukum lebih tegas kepada pelaku kekerasan digital.
- Kerja sama dengan platform media sosial untuk memperketat pengawasan dan pelaporan.
- Kampanye nasional terkait keamanan digital & etika berinternet.
- Kolaborasi internasional dalam menindak pelaku lintas negara.
- Edukasi privasi dan keamanan digital sejak remaja.
Tanpa langkah pencegahan komprehensif, ruang digital akan semakin jauh dari definisi “ruang aman” dan justru menjadi tempat berkembangnya pola kekerasan baru yang merugikan perempuan serta anak perempuan.
Artikel Terkait
Ruang Digital di Indonesia Kian Berbahaya? Angkie Yudistia Bongkar Fakta Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak