YOGYAKARTA, suararembang.com - Fenomena duck syndrome menggambarkan kondisi saat seseorang tampak baik-baik saja dari luar, tetapi sebenarnya berjuang keras di dalam.
Dikutip dari laman ugm.ac.id, Anisa Yuliandri, S.Psi., M.Psi., Psikolog dari CSDU FEB UGM menjelaskan istilah ini diambil dari metafora seekor bebek.
Baca Juga: Cara PNS Menghadapi Masa Pensiun: Hindari Post Power Syndrome
Bebek tampak mengapung dengan tenang, padahal sedang mengayuh cepat agar tidak tenggelam.
“Mahasiswa cenderung ingin tampil serba bisa, kuat, dan produktif. Sayangnya, di balik itu banyak yang lelah dan kewalahan,” jelas Anisa.
Tekanan Mahasiswa di Era Media Sosial
Fenomena ini awalnya populer di Stanford University. Namun kini, kasus serupa banyak ditemukan di kampus Indonesia.
Mahasiswa merasa harus menjaga IPK tinggi, aktif organisasi, ikut lomba, hingga eksis di media sosial. Tekanan itu membuat mereka takut terlihat gagal.
Media sosial memperburuk keadaan. Banyak mahasiswa terjebak pada Impression Management, yakni menjaga citra agar selalu terlihat bahagia. Padahal, kenyataannya banyak yang kewalahan secara mental.
Duck Syndrome dan Teori Komunikasi
Menurut Anisa, fenomena ini bisa dijelaskan lewat Self-Determination Theory. Teori psikologi ini menyebutkan manusia memiliki tiga kebutuhan dasar:
1. Autonomy (kendali atas hidup sendiri).
2. Competence (merasa mampu).
3. Relatedness (merasa terhubung dengan orang lain).
Ketika mahasiswa lebih digerakkan oleh tekanan eksternal ketimbang motivasi pribadi, keseimbangan psikologis bisa terganggu.
Dampak Duck Syndrome pada Kesehatan Mental
Duck syndrome berbahaya karena sulit terlihat. Banyak mahasiswa tampak baik-baik saja, tetapi sebenarnya menahan stres berat.