SUARAREMBANG.COM - Di balik bukit-bukit kapur, ladang jagung, dan kota-kota yang ramai di Jawa Tengah, tersimpan garis retakan bumi yang senyap namun mengancam.
Tiga sesar aktif—Lasem, Semarang, dan Kendeng—bergerak perlahan, tak terlihat, tapi tak pernah benar-benar tidur.
Baca Juga: Mengenang Gempa Jogja 2006: Tragedi Bantul yang Mengubah Sejarah
Retakan di Tengah Tanah Jawa
Jika kita menelusuri jalur dari Demak ke Pati, lalu membelok ke arah selatan menuju Semarang dan ke timur melintasi perbukitan Kendeng, kita sesungguhnya sedang melintasi sebuah sistem sesar yang rumit—dan aktif.
Ketiga sesar ini membentuk bagian dari apa yang oleh para ahli geologi disebut sebagai Baribis–Kendeng Thrust Belt, zona tektonik aktif yang membujur dari barat ke timur Pulau Jawa.
Baca Juga: Gempa Istanbul April 2025: Sekolah dan Aktivitas Publik Ditutup Sementara, Apa Saja yang Dihentikan?
Menurut Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017 yang dirilis Pusat Studi Gempa Nasional (PUSGEN), Sesar Kendeng kini diakui sebagai salah satu sumber gempa utama di Jawa bagian tengah.
Lebih dari itu, studi yang dilakukan oleh Widiyantoro et al. (2020) menunjukkan bahwa sesar ini memiliki potensi menghasilkan gempa berkekuatan besar—setara atau bahkan lebih dari magnitudo 6,5.
Bumi yang Bergerak Perlahan
Bagi mata awam, lanskap di atas sesar Lasem dan Semarang tampak tenang. Tapi hasil pengukuran GPS dan analisis struktur geologi menunjukkan hal berbeda.
Setiap tahun, kerak bumi di sepanjang sesar ini bergeser sekitar 2 hingga 5 milimeter. Terlalu kecil untuk dirasakan manusia, tapi cukup besar untuk menyimpan energi raksasa yang suatu hari bisa dilepaskan tiba-tiba—dalam bentuk gempa bumi.
Dalam laporannya, Koulali et al. (2017) menemukan bahwa tekanan tektonik di zona ini menunjukkan pergerakan miring (oblique) yang rumit, akibat interaksi antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia.
Para ilmuwan juga mencatat tanda-tanda klasik dari sesar aktif: pergeseran lapisan tanah, kemiringan tak wajar, serta keberadaan struktur seperti slicken slide dan drag fold di permukaan tanah.
Ketika Gempa Menghantam
Sejarah mencatat bahwa wilayah ini bukan wilayah yang asing dengan gempa. Tahun 1856, gempa dengan intensitas tinggi mengguncang Semarang.
Tahun 1890, giliran Pati dan Rembang yang diguncang dengan intensitas MMI IX—cukup kuat untuk merobohkan bangunan sederhana.
Artikel Terkait
Mengenang Gempa Jogja 2006: Tragedi Bantul yang Mengubah Sejarah