Ia melihat perubahan nyata di desanya. Jika dulu anak perempuan hanya didorong sekolah sampai SMP, kini banyak yang mulai menargetkan SMA bahkan kuliah. Anita pun bercita-cita melanjutkan studi magister bidang penciptaan seni di ISI Surakarta, meski terkendala biaya.
Namun semangatnya tak padam. “Dengan usaha dan dukungan, saya yakin bisa lanjut kuliah,” katanya yakin.
Pemerintah desa dan orang tua murid memberi dukungan lewat subsidi dan kesempatan tampil. Sanggar milik Anita kini menjadi ruang aman bagi generasi muda untuk mengenal budaya sekaligus bermimpi lebih tinggi.
Hari Tari Sedunia 2025 menjadi simbol bahwa tarian bukan sekadar seni. Di tangan perempuan seperti Anita, ia menjadi bahasa perubahan—mengangkat suara dari desa, membentuk masa depan, dan memberdayakan sesama perempuan lewat setiap gerakan yang penuh makna. **