Di era digital, budaya pop seperti One Piece bukan hanya hiburan, tapi juga alat pembentukan identitas.
Bias Konfirmasi dan Framing Media
Reaksi keras dari sebagian masyarakat juga bisa dijelaskan lewat teori bias konfirmasi.
Ketika seseorang sudah memiliki anggapan negatif tentang budaya asing atau simbol nonnasional, mereka akan lebih mudah tersulut dan menganggapnya sebagai ancaman.
Selain itu, framing media turut membentuk persepsi publik.
Judul berita yang bombastis seperti "Bendera Bajak Laut Dikibarkan Jelang 17 Agustus" bisa menimbulkan kecemasan, tanpa memberi ruang pada makna simbolik atau penjelasan dari pelakunya.
Ruang Ekspresi dan Literasi Simbol
Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa generasi muda mencari bentuk ekspresi baru.
Namun, penting juga untuk menumbuhkan literasi simbolik agar mereka tidak salah tafsir terhadap simbol-simbol yang digunakan.
Sebaliknya, masyarakat umum juga perlu belajar memahami konteks budaya pop yang berkembang.
Tidak semua simbol asing berarti ancaman. Dalam komunikasi yang sehat, perbedaan bisa menjadi ruang dialog, bukan konflik.
Fenomena viral bendera One Piece ini tidak bisa dilihat hitam putih. Ia mencerminkan perpaduan antara ekspresi budaya, pencarian identitas, dan dinamika sosial digital.
Kita butuh ruang dialog, bukan sekadar kecaman. Sebab di balik simbol, selalu ada makna yang lebih kompleks dari sekadar gambar tengkorak dan topi jerami. ***