Studi kelayakan (feasibility study) proyek Whoosh yang memproyeksikan jumlah penumpang harian tinggi dan tarif premium tampak terlalu optimistis.
Dalam FS dihitung jumlah penumpang harian mencapai 40.000 dengan tarif Rp. 400.000,- per penumpang.
Realitas di lapangan menunjukkan penumpang harian jauh di bawah target, hanya 16.000 – 18.000 per hari dengan harga tiket di Rp. 250.000,-, sementara biaya operasional melonjak. Artinya, proyeksi manfaat ekonomi jauh meleset.
Fenomena ini bukan khas Indonesia. Flyvbjerg mencatat, sembilan dari sepuluh proyek transportasi besar di dunia mengalami cost overrun rata-rata 28% dan demand shortfall hingga 40%.
Yang membedakan, di negara maju kesalahan itu dikoreksi dengan evaluasi publik dan audit ketat. Di Indonesia, kritik sering dianggap sebagai hambatan politik.
Faktor Alam yang Diabaikan
Kritik Megawati tentang risiko bencana alam ternyata bukan tanpa dasar. Jalur kereta cepat Jakarta–Bandung melintasi wilayah rawan gempa, tanah labil, dan curah hujan ekstrem. Segmen di sekitar Purwakarta dan Padalarang dikenal memiliki struktur geologi kompleks.
Dalam engineering due diligence, kondisi ini seharusnya diperhitungkan secara serius karena berpengaruh langsung terhadap biaya konstruksi dan pemeliharaan. Namun tekanan waktu dan politik sering kali membuat tim teknis menomorduakan studi geoteknik mendalam. Akibatnya, muncul revisi desain, penundaan proyek, dan tambahan biaya yang signifikan hingga USD 1,2 miliar menurut laporan terakhir (CNBC Indonesia, 2024).
Rasionalitas Ekonomi yang Tertinggal
Dari sisi finansial, proyek ini mengandung apa yang disebut fiscal illusion (Buchanan, 1967), biaya nyata ditutupi oleh narasi bahwa proyek tidak memakai APBN, padahal risiko akhirnya tetap ditanggung negara melalui BUMN.
KAI kini menanggung beban utang besar kepada CDB, sementara arus kas negatif terus menumpuk. Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya bahwa “negara tidak akan menanggung kerugian Whoosh” justru menegaskan persoalan struktural: BUMN yang dibiayai utang luar negeri, tetapi tidak punya kapasitas finansial menanggung beban proyek jangka panjang.
Nilai bagi Publik yang Tak Sebanding
Dari sudut pandang konsumen, Whoosh belum berhasil menciptakan Customer Perceived Value (Zeithaml, 1988) yang kuat. Harga tiket Rp 250–350 ribu dinilai terlalu tinggi dibanding manfaat yang dirasakan, terutama karena lokasi stasiun jauh dari pusat kota dan akses transportasi penghubung belum optimal.
Bagi banyak warga, perjalanan menggunakan mobil pribadi atau tol masih lebih fleksibel dan ekonomis. Akibatnya, tingkat keterisian (load factor) rendah, dan efek ekonomi berganda yang dijanjikan pun belum terasa.
Antara Legasi dan Pelajaran
Tidak dapat dipungkiri, proyek ini membawa sisi positif, yaitu transfer teknologi, pengalaman manajemen proyek besar, serta kebanggaan simbolik bagi sebagian masyarakat. Tetapi, kebijakan publik seharusnya tidak diukur dari kecepatan peresmian, melainkan dari keberlanjutan ekonomi dan manfaat sosialnya.
Whoosh kini menjadi pelajaran penting bagi tata kelola proyek strategis nasional. Bahwa ambisi politik tanpa analisis ekonomi yang matang hanya menghasilkan infrastruktur megah tetapi tidak efisien. Bahwa keberanian membangun harus diimbangi dengan kerendahan hati untuk mengevaluasi.
Seperti ditulis Bent Flyvbjerg (2022) dalam How Big Things Get Done, proyek besar sering gagal bukan karena perencanaannya buruk, melainkan karena terlalu percaya diri bahwa segalanya bisa dikendalikan.
Penutup
Kereta cepat Whoosh bukan semata kisah tentang rel dan kecepatan, melainkan cermin bagaimana keputusan publik dibuat di bawah bayang-bayang ambisi politik dan bias psikologis.
Jika pemerintah mendatang ingin melanjutkan proyek serupa, misalnya kereta cepat Jakarta–Surabaya, maka pelajaran dari Whoosh harus dijadikan pedoman, yaitu transparansi penuh dalam studi kelayakan, audit independen atas pembiayaan, dan keterlibatan publik dalam pengawasan.