Minggu, 21 Desember 2025

Whoosh: Ketika Ambisi Politik Mengalahkan Rasionalitas Ekonomi

Photo Author
- Minggu, 19 Oktober 2025 | 16:00 WIB
Ilustrasi Whoosh. Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang dikenal dengan nama Whoosh. (KCIC)
Ilustrasi Whoosh. Proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang dikenal dengan nama Whoosh. (KCIC)

SUARAREMBANG.COM - Ketika Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KJCB) diresmikan pada 2023, Presiden Joko Widodo menyebutnya sebagai simbol kemajuan transportasi Indonesia dan tonggak baru peradaban.

Namun dua tahun kemudian, kenyataannya jauh dari narasi itu. PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai operator proyek mencatat kerugian lebih dari Rp. 2,6 triliun sepanjang 2024, dan pada semester pertama 2025 kembali merugi hampir Rp. 1 triliun.

Baca Juga: Mahfud MD Sindir KPK Aneh dan Keliru Soal Dugaan Mark Up Kereta Cepat Whoosh

Pendapatan tiket belum mampu menutup biaya operasional, apalagi cicilan dan bunga pinjaman luar negeri.

Proyek yang diberi nama Whoosh, akronim dari “Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat”, justru menjadi simbol paradoks pembangunan, yaitu ambisi tinggi, biaya besar, manfaat terbatas.

Ia bukan hanya persoalan ekonomi dan teknis, melainkan juga potret bias psikologis dan tarik menarik politik di balik kebijakan publik.

Baca Juga: Saling Balas Pernyataan Mahfud MD dan KPK soal Dugaan Mark Up Anggaran Proyek Whoosh hingga 3 Kali Lipat

Tulisan ini akan mengupas mengenai proyek strategis Whoosh dengan menggunakan pisau analisa Stratejik Manajemen.

Proyek ini sudah bermasalah sejak awal, dan ini sudah sering penulis sampaikan dalam Rapat Kerja dengan Kementerian BUMN maupun Rapat Dengar Pendapat dengan PT. Kereta Api Indonesia, ketika penulis masih ditugaskan di Komisi VI DPR RI.

Proyek ini bisa diibaratkan sebagai bayi yang sudah sungsang sejak dari kandungan.

Baca Juga: Mahfud MD soal Whoosh: Blak-blakan Duga Ada Korupsi hingga Kemungkinan Terburuk Kalau Gagal Bayar Utang

Artikel ini dimaksudkan sebagai refleksi kritis terhadap pengambilan keputusan strategis di tingkat pemerintah, terutama dalam proyek-proyek infrastruktur berskala besar.

Dalam tulisan ini Penulis menyoroti pentingnya tata kelola berbasis data, transparansi fiskal, dan akuntabilitas publik agar proyek-proyek masa depan tidak terjebak dalam jebakan escalation of commitment dan bias politik.

Pengalaman proyek Kereta Cepat Whoosh diharapkan menjadi cermin bagaimana kebijakan publik bisa kehilangan rasionalitas ketika kepentingan politik dan simbolik mengambil alih ruang perhitungan ekonomi.

Halaman:

Editor: R. Heryanto

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X