SUARAREMBANG.COM - Di era media sosial, kebenaran tak lagi hanya ditentukan oleh fakta, tetapi juga oleh narasi yang paling menarik dan mudah dipercaya.
Salah satu kasus yang menyoroti fenomena ini adalah kontroversi ijazah Presiden Joko Widodo. Meski pihak kepolisian sudah menyatakan ijazah tersebut asli dan sah secara hukum, sebagian masyarakat tetap meragukannya.
Pertanyaannya: mengapa keraguan ini terus bertahan?
Jawabannya dapat ditemukan dalam fenomena post-truth, yaitu kondisi ketika emosi dan opini pribadi lebih kuat pengaruhnya daripada fakta objektif.
Dalam dunia komunikasi digital, fenomena ini semakin diperparah oleh peran algoritma media sosial—terutama TikTok.
Baca Juga: Hasil Penyelidikan Bareskrim: Ijazah Jokowi Asli, Ini Respons Tegas Mantan Presiden
TikTok dan Pengaruh Algoritmanya
TikTok bukan sekadar platform hiburan. Ia telah menjadi arena pembentukan opini publik. Algoritma TikTok bekerja dengan menampilkan konten yang paling mungkin memicu respons emosional pengguna: like, komentar, dan share.
Konten yang menuduh, menggiring opini, atau menimbulkan kontroversi biasanya lebih mudah viral.
Konten-konten yang mempertanyakan ijazah Jokowi, meski tanpa bukti kuat, mendapat perhatian besar karena menggugah emosi: kecurigaan, ketidakpercayaan, bahkan kemarahan.
Baca Juga: Unggahan Facebook Joshua Sinambela Buka Fakta di Balik Polemik Ijazah Jokowi
Di sisi lain, klarifikasi resmi dari aparat negara disampaikan dalam bentuk yang formal, datar, dan tidak menarik secara emosional. Akibatnya, meskipun benar, klarifikasi tersebut jarang viral.
Efek Confirmation Bias dan Echo Chamber
Fenomena ini diperkuat oleh apa yang disebut confirmation bias, yaitu kecenderungan orang untuk mencari dan mempercayai informasi yang sesuai dengan pendapat mereka.
Jika seseorang sudah tidak menyukai Presiden, maka konten apa pun yang mendiskreditkannya akan lebih mudah diterima—tanpa perlu verifikasi.
Artikel Terkait
Alumni dan Akademisi UGM Bantah Tuduhan Ijazah Palsu Joko Widodo