Minggu, 21 Desember 2025

Perempuan di Persimpangan: Refleksi Sosial dari Film Pangku dan Realitas Indonesia Saat Ini

Photo Author
- Jumat, 7 November 2025 | 18:34 WIB
Film Pangku buka mata soal perjuangan perempuan di Pantura, cermin kerasnya realitas sosial ekonomi Indonesia masa kini.
Film Pangku buka mata soal perjuangan perempuan di Pantura, cermin kerasnya realitas sosial ekonomi Indonesia masa kini.

REMBANG, suararembang.com - Film Pangku, debut penyutradaraan Reza Rahadian, bukan sekadar drama. Ia menjadi potret getir tentang perempuan yang berjuang di tengah keterbatasan sosial dan ekonomi.

Tokoh utama, Sartika, menggambarkan realitas banyak perempuan di Indonesia yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan stigma sosial.

Baca Juga: Kuwi Nggonku, Film Pendek Sutradara Muda asal Rembang Tayang di Festival Film Asia JAFF 2025

Di wilayah pesisir Pantura, “kopi pangku” bukan sekadar tempat nongkrong, melainkan simbol ekonomi informal yang banyak menopang kehidupan kelas bawah.

Dalam film, Sartika harus memilih antara harga diri dan kebutuhan hidup — dilema klasik yang masih dialami banyak perempuan hingga kini. 

Data yang Menyuarakan Fakta

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2024, lebih dari 49% pekerja perempuan di Indonesia berada di sektor informal.

Baca Juga: Agak Laen: Menyala Pantiku! Siap Tayang 27 November, Aksi Detektif Kocak di Panti Jompo

Sebagian besar bekerja tanpa jaminan sosial, perlindungan hukum, atau kepastian pendapatan.

Fenomena ini membuat banyak perempuan rentan terhadap eksploitasi ekonomi dan sosial — sebagaimana tergambar jelas di film Pangku.

Kondisi ini semakin berat ketika dikaitkan dengan peran ganda perempuan. Mereka tidak hanya mencari nafkah, tetapi juga menjadi penopang utama keluarga.

Film Pangku menyorot fakta ini secara halus, lewat adegan-adegan sederhana: Sartika yang berjuang demi anaknya, tanpa sokongan dari siapa pun.

Makna Emosional dan Pesan Sosial

Sutradara Reza Rahadian pernah mengatakan, “Film ini saya dedikasikan untuk semua ibu di Indonesia.”

Pernyataan itu menggambarkan niat kuat untuk menjadikan film ini bukan sekadar tontonan, tetapi pesan moral.

Lewat karakter Bu Maya yang bijak namun keras, film menunjukkan paradoks: perempuan yang menolong sesamanya, tetapi tetap hidup dalam sistem yang menindas. Ini refleksi struktur sosial yang membuat perempuan saling menopang di tengah keterbatasan.

Halaman:

Editor: R. Heryanto

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X