Algoritma TikTok kemudian membentuk echo chamber, yaitu ruang di mana pengguna hanya melihat konten yang sejalan dengan pandangan mereka.
Di dalam lingkungan ini, narasi tentang “ijazah palsu” bisa terus beredar dan diyakini, meskipun fakta hukum telah membantahnya.
Baca Juga: Pakar Hukum UGM: Tuduhan Pemalsuan Ijazah Jokowi Tidak Berdasar
Tantangan Komunikasi Publik di Era Post-Truth
Di era post-truth, kebenaran tak cukup disampaikan—ia harus disampaikan dengan cara yang bisa dipercaya dan dirasakan.
Pemerintah dan institusi resmi tidak bisa lagi hanya mengandalkan konferensi pers atau rilis berita.
Mereka harus hadir di tempat publik berkumpul: TikTok, Instagram, dan platform digital lainnya.
Baca Juga: Alumni dan Akademisi UGM Bantah Tuduhan Ijazah Palsu Joko Widodo
Mereka juga harus menyampaikan informasi dengan gaya yang relatable: naratif, emosional, dan visual.
Komunikasi yang efektif di era sekarang bukan hanya soal isi, tapi juga tentang cara menyampaikannya.
Kasus ijazah Jokowi adalah cerminan dari bagaimana fakta bisa tenggelam oleh persepsi, terutama ketika algoritma media sosial memperkuat narasi tertentu.
Ini bukan hanya soal satu kasus, tapi soal bagaimana masyarakat kita menerima dan mempercayai informasi di era digital.
Kita semua punya peran. Verifikasi informasi, berpikir kritis, dan memahami cara kerja platform digital adalah langkah awal untuk tidak terjebak dalam pusaran post-truth.
Di era TikTok, kebenaran tetap penting—tetapi harus disampaikan dengan cerdas dan menyentuh.**
Artikel Terkait
Alumni dan Akademisi UGM Bantah Tuduhan Ijazah Palsu Joko Widodo